seaflog.com – Sejumlah alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) telah mengutarakan penolakan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang memperbolehkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang. Koordinator kelompok, Heru Prasetia, menyampaikan keberatan ini dalam sebuah konferensi pers online pada Minggu (9/6) malam.
Kelompok ini, yang terdiri dari 68 alumni Nahdliyin UGM dari berbagai latar belakang seperti aktivis, akademisi, pengajar pesantren, peneliti, budayawan, dan pengusaha, telah merumuskan delapan poin dalam pernyataan sikap mereka. Pernyataan tersebut mengekspresikan kekhawatiran bahwa pemberian izin pertambangan kepada ormas keagamaan akan merusak integritas dan moral organisasi tersebut serta menguntungkan hanya sekelompok kecil elit di dalamnya, dan pada akhirnya melemahkan fungsi kontrol pemerintah terhadap ormas tersebut.
Salah satu poin utama dari pernyataan sikap tersebut adalah desakan kepada PBNU untuk membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan, dengan alasan bahwa hal tersebut akan menjerumuskan NU ke dalam “kubangan dosa sosial dan ekologis.” Selain itu, mereka mendesak agar PBNU memanfaatkan potensi yang ada untuk kemandirian ekonomi tanpa melibatkan diri dalam “bisnis kotor tambang” dan mendesak pemerintah untuk menguatkan penegakan hukum lingkungan.
Heru dan rekan-rekannya juga menyoroti dampak negatif dari ekstraksi batubara, termasuk perusakan sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, serta lubang-lubang pasca tambang yang tidak direklamasi. Menurut mereka, ekstraksi batubara di Indonesia, yang hanya menyumbang sekitar 3 persen dari cadangan dunia, adalah sebuah kejahatan yang diperparah oleh korupsi dan kegagalan dalam manajemen dan teknik.
Dalam konferensi yang sama, Wasingatu Zakiyah dari Caksana Institute menyoroti PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada ormas keagamaan. Ia berpendapat bahwa ini bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba, yang seharusnya memberikan prioritas kepada BUMN dan BUMD.
Menurut Zakiyah, ormas keagamaan seharusnya fokus pada pengawasan mulai dari risiko teknis, mekanisme lelang, risiko dampak lingkungan, potensi konflik horizontal, kepentingan, dan korupsi, bukan terlibat dalam operasi pertambangan itu sendiri.
Penolakan ini muncul di tengah laporan bahwa PBNU telah mengajukan permintaan izin tambang pertama oleh ormas keagamaan ke Kementerian Investasi/BKPM, yang telah berjanji akan menerbitkan izin tersebut dalam waktu dekat.